Biar idup Mulus Pinjem dulu seratus

Komunitas Queer di Bawah Sorotan: Menggugat Stereotip dan Merayakan Euforia Gender

Perhatian yang semakin meningkat pada komunitas queer. Tubuh-tubuh queer yang diserang secara psikologis, secara ideologis, bahkan secara fisik. Nudieland—di mana dua pria menembak tujuh orang dan merenggut satu nyawa dalam pertunjukan punk queer di Phillips—adalah contoh terbaru yang terus terngiang dalam pikiranku. Namun, ini bahkan bukan serangan terbaru terhadap komunitas trans, hanya saja yang paling jelas terukir dalam ingatanku. Hukum-hukum yang keras berusaha untuk memaksa kita menjadi normal dan membentuk kita menjadi tubuh-tubuh cisgender. Queerphobia. Pandangan aneh atau komentar pedagang, pelayan, atau teman masa kecil. Yang selalu terlintas dalam pikiranku adalah, “Mengapa mereka menginginkan kita mati, mengapa mereka tertawa saat ada yang bunuh diri?” seperti yang dinyanyikan oleh Anita Velveeta dalam lagu “TERFS WILL NOT GET INTO HEAVEN.” Satu-satunya jawaban atas beban pengawasan ini mungkin adalah euforia gender. Bagaimana penampakannya? Mengatakan pada diri sendiri bahwa aku mencintai tubuhku. Mengenakan pakaian yang terasa nyaman bagi diriku. Menceritakan kepada teman-teman tentang queer identitasku dan mereka menerimaku dengan tulus. Rambutku—ya, rambutku yang indah, yang kusut, yang kugelungkan. Pin pronoun. Mendapatkan bendera kebanggaan dan menjadi terang-terangan queer. Merayakan ketika seseorang menggunakan pronoun yang tepat untukku. Euforia yang kurasakan saat seseorang memperbaiki kesalahan pemanggilan gender bagiku. Musik queer. Menulis tentang hak-hak queer. Cinta bersama yang mengumpulkan kita semua. Ini juga tentang merayakan kemenangan kecil: seorang rekan kerja berusaha keras untuk menggunakan pronounku; hari-hari di mana aku bangun dan merasa LEBIH DARIPADA BAIK tentang penampilanku; membela diri sendiri dan orang lain pada hari-hari di mana aku tidak merasakannya. Saat membicarakan orang transgender, percakapan umum sering kali terfokus pada disforia gender. Harapanku adalah bahwa dengan merayakan transformasi kita—baik secara fisik, emosional, komunal, maupun spiritual—kita dapat menunjukkan esensi kemanusiaan kita di dunia di mana banyak yang melihat kita di luar jangkauan kemanusiaan.
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cari Blog Ini

Diberdayakan oleh Blogger.

Arsip Blog

Label

Recent Posts

Pages